Laman

Kamis, 22 Juli 2010

Inisiatif berdoa seorang anak



Dulu kami tinggal disebuah kampung dipinggiran kota Solo bagian Utara. Masyarakatnya hidup rukun. Kami merasakan azas kekeluargaan yang sangat kental, sehingga kami akan saling mengenal antara satu dengan yang lain. Azas gotong royong masih menjadi dasar yang kokoh hidup bermasyarakat.
Suatu hari di musim penghujan, tiba-tiba talut selokan besar dikampung kami jebol karena tidak kuat menahan kuatnya arus hujan yang sangat besar.  Tepatnya dibelakang rumah bapak RT kami. Bahkan tembok dapur Pak RT ikut terbawa arus. Otomatis perlengakapan dapurpun berenang menghilang . Hujan semakin lebat, maka arus airpun semakin kencang dan besar.  Malah sore itu disertai halilintar yang sambar menyambar .  Ketika diketahui  air semakin banyak masuk rumah bapak RT, sontak kentongan-pun dipukul berkali-kali tanda ada banjir.  Serentak masyarakat  gotong royong. Bukan saja masyarakat dari kampung kami tetapi juga dari kampung sekitar kami. Keadaan menjadi hiruk pikuk. Semua berusaha menyelamatkan barang-barang yang masih bisa diselamatkan antara lain perlengkapan dapur, buku-buku  catatan kampung, meja kursi, serta perabot-perabot rumah yang lain.  Sore itupun akupun ikut sibuk membantu.  Aku juga ikut hilir mudik membawa barang-barang yang dapat diselamatkan ke rumah tetangga sebelah Pak RT. Ketika terjadi banjir itu , penghuni rumah atau bapak dan ibu RT sedang tidak ada dirumah. Mereka sedang ada keperluan keluarga.  Terdengar suara tangisan anak-anak yang ketakutan karena halilintar yang terus sambar menyambar. Akupun sebenarnya juga takut, apalagi sebenarnya saat itu aku agak kurang enak badan. Tetapi sebagai warga kampung yang baik aku ingin berpartisipasi , kuabaikan  rasa takut dan sakitku. Aku ingat betul waktu itu  mengenakan jaket hijau lumut yang agak gombrong, aku merasa sangat dingin.
Lalu aku mendengar suara anak-anak  bertangisan. Mereka anak-anak tetangga sebelah rumah Pak RT. Mereka menangis ketakutan karena mereka pikir rumah mereka juga akan terendam air.  Suara jerit tangis mereka nyaris tak terdengar karena derasnya bunyi hujan , juga karena halilintar yang terus sambung menyambung.  Tentu saja aku tak memperdulikan mereka , karena selain aku sibuk mondar mandir memindahkan barang-barang, aku juga berpikir pasti ada orang tua mereka.  Ada juga seorang anak yang menangis sangat keras, dia adalah seorang anak yang sedang bermain   tetapi tidak bisa pulang karena hujan deras itu. Dia takut tidak bisa pulang. Kulihat beberapa orang tua berusaha menenangkannya.
Keadaan semakin hiruk pikuk ketika hujan tidak kunjung reda, dan halilintarpun tak kunjung berhenti, arus airpun makin besar.  Masyarakat semakin kerja keras, bergotong royong menyelamatkan perabot-perabot berat rumah Pak RT. Demikian juga dengan aku,  semakin sibuk membawa barang-barang , memindahkan ke tempat yang cukup aman.  Ketika aku masih sangat sibuk, tiba-tiba aku merasa ada yang menarik-narik jaketku.  Pada mulanya kukira itu anakku, sehingga tidak kuhiraukan. Tetapi makin lama tarikannya makin kurasakan sangat mengganggu. Lalu aku menoleh ke arah anak itu. Ternyata bukan anakku. Tetapi seorang anak yang rumahnya disebelah Pak RT. Sebut saja Reni. Dia menarik jaketku dengan tarikan erat. Ketika aku menoleh padanya, anak itu berkata,” Mbak, kita perlu berdoa!”. Kutatap matanya yang sembab . Keseriusan terpancar jelas dari mimik mukanya yang mungil. Dalam hati aku agak geli melihat mimik muka seorang anak yang sangat serius itu. Tetapi keseriusannya membuatku jadi ikut serius. “Mbak,..kita perlu berdoa!” ulangnya sambil menarik tanganku ke rumahnya. Spontan aku menjawab,”Ya…mari kita berdoa bersama.”
Akupun menurut. Kuikuti langkah kecil anak itu ke rumahnya. Ternyata disana telah ada dua saudaranya yang menunggu. Kedua anak itu duduk bertelut di lantai. Lalu kembali anak itu menarikku untuk cepat-cepat duduk bersama mereka. Mata mereka menatapku, seolah memintaku untuk memimpin dalam doa.  Lalu aku mengajak  mereka bergandengan tangan. Aku memimpin doa yang singkat dan padat, memohon pada Tuhan untuk menolong kami dan melindungi kami juga memohon supaya Tuhan meredakan hujan dan halilintar yang menakutkan itu. Kuakhiri doaku dengan kata Amin. Nampak kelegaan diwajah mereka.  Aku menguatkan mereka supaya jangan takut dan khawatir karena Tuhan pasti melindungi kita dan mendengar seruan doa kita. Mereka manggut-manggut meng-amini.
Lalu aku kembali ke tempat rumah Pak RT dengan maksud membantu lagi. Tetapi di dalam hati, jujur aku sangat malu pada diriku sendiri. Karena anak kecil yang menarik jaket itu  memberiku pelajaran hidup supaya aku tidak mengandalkan kekuatan manusia dalam mengatasi setiap musibah atau situasi yang tidak kita harapkan.  Jujur saja dalam benakku memang tidak ada rencana untuk mendoakan masalah banjir, hujan deras atau halilintar yang sambar menyambar itu. Kuanggap itu biasa-biasa saja dan  kukira masyarakat pasti bisa mengatasinya. Aku seolah-olah tertempelak telak.  Aku bertanya pada diriku sendiri kenapa inisiatif berdoa itu bukan dari diriku? Tetapi inisiatif itu malah dari seorang anak yang acapkali kita remehkan, yang kita angap tidak tahu apa-apa. Pelajaran lain yang kudapat dari peristiwa itu adalah, selalu melibatkan Tuhan Sang Khalik dalam hidup kita. Aku bersyukur, karena Tuhan mengingatkanku lewat seorang anak.
Selang waktu sekitar lima menit  hujan mereda, halilintar berhenti. Oh..aku sangat percaya Tuhan mendengar seruan doa anak-anak yang masih polos  itu. Itu membuktikan bahwa Tuhan berkuasa menolong dalam keadaan apapun, bahwa Tuhan mendengar seruan doa umatNya.
Keadaan menjadi tenang. Arus airpun mereda sedikit demi sedikit. Anak-anak tidak ketakutan lagi. Masyarakatpun mulai dapat beristirahat. Tak lama kemudian pemilik rumah atau bapak ibu RT kami datang dan mengucapkan terimakasih atas kepedulian dan kerjasama kami dalam menyelamatkan rumah serta isinya.
Meski sekarang aku sudah pindah tempat tinggal, tetapi peristiwa itu kusimpan rapi dihatiku. Inisitiaf berdoa seorang anak, mengajarku untuk tidak melupakan peranan doa. Terimakasih Reni !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar